kievskiy.org

Kebijakan Apartheid Israel

Bendera Israel.
Bendera Israel. /Reuters/Corrina Kern

PIKIRAN RAKYAT - Serangan besar-besaran Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 menandai eskalasi kedua pihak sejak mereka terlibat perang 11 hari pada 2021. Serangan ini menewaskan lebih dari 200 warga sipil dalam hari kekerasan paling mematikan di Israel sejak perang Yom Kippur 50 tahun lalu. Namun, lebih dari 230 warga Gaza juga tewas ketika Israel membalas dengan serangan yang lebih menghancurkan.

Juru Bicara Hamas Khaled Qadomi menyebutkan, serangan kelompoknya ke Israel dilakukan sebagai respons atas kekejaman yang dirasakan rakyat Palestina selama beberapa tahun belakangan.

Sementara itu, Komandan Militer Hamas Mohammed Deif mengatakan, serangan ke Israel merupakan respons atas blokade yang terjadi di Gaza selama 16 tahun. Ia juga menyoroti serangan Israel ke kota-kota di Tepi Barat dan tindak kekerasan yang dilakukan Israel di Al Aqsa.

Baca Juga: Melawan Korupsi: Tantangan Politik dan Kepercayaan dalam Hukum Indonesia

 

Menyikapi serangan Hamas itu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menawarkan dukungan penuh kepada pemerintah dan rakyat Israel. Biden menegaskan bahwa Israel mempunyai hak untuk membela diri.

Pembelaan Biden ini sekaligus ingin menunjukkan kepada komunitas internasional bahwa Hamas adalah agresor dan Israel adalah korban.

Padahal, sebagaimana dikatakan Anthony Patton dari Mitchell Hamline School of Law, penyebab terbesar terjadinya kekerasan yang tanpa henti itu adalah karena kebijakan apartheid yang diterapkan Israel pada rakyat Palestina. Kebijakan ini telah memicu kemarahan warga Palestina. Akibatnya siklus kekerasan terus berjalan, dan tidak dapat dihentikan kecuali kondisinya berubah.

Baca Juga: Usia Pemimpin Indonesia

Kebijakan Apartheid

Pada tahun 1973, Majelis Umum PBB meratifikasi Konvensi Internasional tentang Pemberantasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat