kievskiy.org

Jawa Barat 'Juara' Bencana, Pemerintah Harus Serius Lindungi Daerah Hulu

Warga berjalan melewati banjir di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Jumat 12 Januari 2024.
Warga berjalan melewati banjir di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Jumat 12 Januari 2024. /Antara/Novrian Arbi

PIKIRAN RAKYAT - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan, cuaca ekstrem masih mengancam sebagian besar wilayah di Indonesia sampai Februari mendatang. Hujan lebat sampai sangat lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi, juga masih berpeluang tinggi terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia.

Oleh sebab itu, masyarakat diminta waspada serta bersiap siaga akan potensi bencana hidrometeorologi yang mungkin saja terjadi di wilayahnya, seperti banjir, tanah longsor, hingga pohon tumbang.

Kewaspadaan ini tentunya berlaku juga bagi masyarakat Jawa Barat. Apalagi, Jawa Barat 'juara' bencana. Karena berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam tiga tahun terakhir, yaitu pada 2021, 2022, dan 2023, Jabar menjadi provinsi dengan jumlah bencana terbanyak di Indonesia.

Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung pun disebut sebagai wilayah di Jabar yang paling rawan bencana. Bahkan baru-baru ini, puluhan ribu warga Kabupaten Bandung terdampak banjir. Rumah-rumah terendam, sehingga ribuan warganya masih mengungsi. Hal itu terjadi setelah kirmir sungai Cigede jebol akibat luapan air kiriman dari sungai Cikapundung pada Kamis 11 Januari 2024. Tanggul yang jebol itu membuat air mengalir dan membanjiri permukiman penduduk di Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot.

Namun demikian, faktor cuaca ekstrem atau intensitas hujan yang meningkat tidak bisa semata dijadikan alasan sebagai penyebab bencana banjir yang terjadi di berbagai wilayah di Jabar, termasuk di Kabupaten Bandung. Kerusakan lingkungan di kawasan resapan air di daerah hulu, tentunya sangat berpengaruh terhadap bencana banjir yang terjadi selama ini.

Pengrusakan lingkungan yang kian meluas dan kondisi kritis di daerah aliran sungai (DAS), merupakan salah satu penyebab banjir. Hal itu tentu saja tidak lepas dari ulah manusia yang tidak menjaga lingkungan alam. Kondisi tersebut ditambah dengan tingginya curah hujan belakangan ini.

Perubahan tata guna lahan di hulu juga menimbulkan aliran yang menuju ke hilir semakin besar. Akibatnya, limpasan yang semula kecil, dengan adanya perubahan di daerah hulu, limpasannya semakin tinggi dan meluas. Jika kawasan-kawasan resapan atau konservasi air tidak rusak, tentunya air hujan yang turun dapat terserap ke tanah. Sementara karena beton di mana-mana, air pun melimpas begitu saja dari daerah yang tinggi ke daratan di bawahnya.

Aktivitas ekonomi manusia, seperti pertanian, pertambangan, dan penebangan pohon, disebut-sebut juga menjadi biang atas kerusakan wilayah di daerah hulu. Oleh karena itu, masyarakat harus memikirkan keseimbangan alam. Pemerintah harus mengedukasi masyarakat untuk menanam tanaman yang tidak hanya punya nilai ekonomis, tetapi juga mempunyai fungsi ekologis. Pasalnya bencana yang banyak terjadi, di antaranya karena pertanian yang tidak memperhitungkan masalah konservasi.

Kerusakan di daerah konservasi juga menyebabkan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi banjir hingga saat ini belum sepenuhnya teratasi.

Pendekatan atau program yang dilakukan pemerintah itu tidak sampai menyelesaikan akar masalah. Pasalnya, lahan kritis di Kabupaten Bandung saja masih tinggi. Walhi Jabar mencatat, lahan kritis di Kabupaten Bandung mencapai 46.678 hektare. Luasan itu kemungkinan bertambah seiring dengan pembangunan di kawasan Bandung selatan yang pesat. Ditambah lagi dengan adanya pembangunan wisata yang pesat di Bandung Selatan, juga telah mengalihfungsikan kawasan yang memiliki fungsi konservasi.

Ketika marak izin-izin properti, wisata, dan pertambangan di kawasan perbukitan, di kawasan hulu, ini juga memperkuat alih fungsi yang terjadi. Pembangunan properti telah mengubah bentang alam di daerah hulu. Hal itu berperan dalam degradasi atau deforestasi di kawasan hutan, yang seyogianya berfungsi sebagai resapan air.

Belum lagi saat ini banyak terjadi penyempitan dan sedimentasi sungai. Ditambah lagi dengan masih banyak masyarakat yang membuang sampah ke sungai, sehingga terjadi penyumbatan dan menjadi salah satu penyebab banjir.

Pembatasan alih fungsi lahan

Oleh karena itu, diperlukan ketegasan pemerintah dalam melindungi daerah hulu guna mencegah terjadinya bencana, termasuk banjir. Salah satunya dengan membuat peraturan yang melindungi daerah hulu. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang disusun pemerintah daerah pun semestinya mampu membatasi kawasan-kawasan yang berisiko terjadi alih fungsi lahan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat