kievskiy.org

Janji Konstitusi: Perisai Diskriminasi, Korupsi, dan Kesewenang-wenangan

Ilustrasi hukum.
Ilustrasi hukum. /Pixabay/Inactive_account_ID_249

PIKIRAN RAKYAT - Dalam sebulan terakhir ini, sejumlah pernyataan sikap dari kalangan kampus menjadi perhatian publik dan juga media. Berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta menyampaikan petisi dan menyerukan pesan yang pada intinya memiliki kesamaan konsern pada kekacauan keadaan demokrasi dalam konteks negara hukum dan pemajuan terhadap hak asasi manusia. Keprihatinan ini dapat dipahami apalagi jika melihat kenyataan bahwa Indonesia menempati ranking ke-66 dari 142 negara yang diukur dalam Index Negara Hukum dalam laporan tahun 2023.

Kampus mengilustrasikan suatu pengingat kolektif ajakan kembali terhadap kewibawaan etika dalam bernegara dalam pelaksanaan kewajiban presiden untuk memastikan penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil. Konsolidasi yang diwarnai peran guru besar, senat akademik, dosen, mahasiswa, alumni serentak ini tidak boleh dianggap kaleng-kaleng.

Hak Konstitusional

Tidak akan ada yang terang-terangan, termasuk pemerintah, menyangkal bahwa konstitusi mengakui dan melindungi kebebasan berpikir, menyatakan pikiran dan pendapat, baik melalui lisan dan tulisan. Selain bahwa akan menjadi pernyataan normatif, preposisi kebebasan berpendapat yang diucapkan kalangan tertentu dapat juga sebagai pemanis, bahwa pihaknya masih sebagai fungsionaris konstitusi. Yang membedakannya adalah bagaimana tafsir terhadap kebebasan berpikir terkonfirmasi dalam gejala-gejala reaksi.

Penulis berpendirian bahwa pengakuan konstitusional terhadap kebebasan menyatakan pendapat bukan tanpa fungsi. Hak ini saling terhubung dengan upaya perjuangan kolektif. Penyelenggara negara diingatkan bahwa janji konstitusionalnya tengah tidak konsisten. Oleh karena itu, rakyat sebagai pemegang kedaulatan hendak mengontrol “tali laso” terhadap penguasa supaya kembali ke jalur lurus seperti yang dikehendaki sebagai tujuan bernegara. Rasionalitas itu yang seharusnya dipahami oleh pemerintah.

Yang terjadi bukannya presiden melakukan introspeksi, tetapi melalui Koordinator Staf Khusus Presiden, membawa publik pada diskursus netralitas dalam pemilu ditandai dengan sebutan fenomena “orkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral” dan “strategi politik partisan”.

Lebih dari itu, masyarakat dipancing lagi untuk mempertanyakan reaksi beberapa tokoh di Forum Rektor Indonesia yang di antaranya berpesan untuk menjaga netralitas dan kehati-hatian terhadap penggiringan opini publik terkait kemunculan petisi-petisi.

Relevansi Netral?

Jangan heran, gejala-gejala reaksi seperti itu akan memancing kecurigaan di sebagian kalangan masyarakat dengan mempertanyakan beberapa hal.

Pertama, apa hubungan respons beberapa rektor yang mengenai konsern netralitas petisi kampus-kampus dengan counter seperti berupaya meredam kegelisahan para guru besar? Lagi-lagi, pola pendekatan arogansi kekuasaan terbaca karena mungkin berharap jika rektor yang meng-counter petisi-petisi itu, akan muncul keseganan dan pengendalian konsolidasi. Sebagai sesama kalangan intelektual, sejatinya para rektor pun terkawal argumentasinya dengan kerangka ilmu.

Kedua, jika pemerintah gagal untuk merespons keprihatinan terhadap kerusakan demokrasi, mengapa membalikkan telunjuk protes menjadi isu netralitas? Sementara, setiap cabang kekuasaan dalam doktrin trias politika sudah memamerkan cacat etika kenegarawannya dengan tindakan absen netralitas secara telanjang. Dalam kapasitas sebagai apa netralitas paling dikehendaki? Dapat digarisbawahi bahwa adalah penguasa dan lingkungan kewenangannya yang memiliki kapasitas untuk netral atau tidak, bukan masyarakat para penyeru petisi. Hal itu karena pemerintah selalu terpapar risiko berhadapan dengan berbagai kepentingan. Jadi, kamus mengenai petisi lebih kepada tuntutan (outcry) bukanlah mengenai cerita tentang netralitas. Gelombang petisi kalangan kampus ini muncul tepat pada suhu dan waktunya, dan karenanya harus dipandang sebagai voice.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat