kievskiy.org

Jika Upaya Memakzulkan Presiden Terus Berulang, Kenapa Demokrasi yang Kita Anut Menimbulkan Efek seperti Itu?

Sejumlah warga mengibarkan bendera Indonesia.
Sejumlah warga mengibarkan bendera Indonesia. /Antara/Yusran Uccang

PIKIRAN RAKYAT - Petisi Bulaksumur yang disampaikan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta seolah menjadi ‘pemantik’ yang kemudian diikuti oleh beberapa universitas dengan petisi yang sejenis.

Dalam petisi Bulaksumur UGM, salah satu poinnya adalah: Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada.

Intinya menyesalkan berbagai langkah serta keputusan yang dilakukan Jokowi menjelang pilpres 2024. Salah satu arahnya adalah ditetapkannya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Dalam sistem demokrasi, setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin bangsa. Namun, tentu saja harus memenuhi ketentuan hukum. 

Baca Juga: Krisis Sawah Menghantui Indonesia 2045, Mau Makan Apa 319 Juta Jiwa?

Yang terjadi terhadap sosok Gibran adalah terkesan akal-akalan. Dalam hal ini yang ditabrak adalah ketentuan mengenai batas umur. Hal itu terjadi karena yang bersangkutan merupakan anak presiden yang sedang berkuasa.

Konsekuensinya adalah berbagai kritik yang ditujukan kepada sosok Jokowi. Banyak pihak yang merasa kecewa bahkan geram. Selain petisi kekecewaan, tidak sedikit pula yang menuntut agar Jokowi dimakzulkan. 

Kalau kita simak, keinginan untuk memakzulkan Jokowi terbilang menarik. Bangsa ini sudah tiga kali menjatuhkan presidennya. Soekarno, Suharto dan Gus Dur mengalami nasib yang sama meski alasannya berbeda. 

Baca Juga: Memahami Model Kepemimpinan Pangeran Kornel dalam Konteks Pemilu 2024

Dibandingkan dengan negara tetangga, kita merupakan bangsa yang paling sering menjatuhkan presidennya sendiri. Sangat layak untuk kita cermati, mengapa hal itu sampai terjadi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat