kievskiy.org

Air dan Pangan: Hidup dan Matinya Suatu Bangsa

Ilustrasi air dan lahan pertanian.
Ilustrasi air dan lahan pertanian. /Pexels/Rachel Claire

PIKIRAN RAKYAT - Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mendefinisikan pangan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Badan Pangan Dunia (FAO) telah menetapkan tema Hari Pangan Sedunia yang ke-42 yang baru saja diperingati beberapa adalah "Water is Life, Water is Food. Leave No One Behind". Catatan kritis yang dapat disampaikan adalah mengapa FAO memilih tema yang berkaitan dengan air? Apakah dikarenakan sekarang ini banyak negara dan bangsa yang terkena sergapan El Nino, sehingga yang namanya air benar-benar tampil menjadi kebutuhan yang sangat esensial?

Bagi dunia pertanian, khususnya tanaman pangan, air merupakan segala-galanya. Pameonya, tidak ada air, maka tidak ada pertanian. Itu sebabnya, ketika dunia dikejutkan dengan adanya El Nino, maka pemerintah berjaga-jaga untuk menghadapinya. Langkah strategis yang ditempuh adalah merencanakan impor beras sebesar 2 juta ton. Sekalipun banyak kritikan atas rencana impor beras ini, tetapi pemerintah tetap berjalan untuk melakukannya. Beras adalah makanan pokok sebagian besar warga bangsa. Artinya, beras harus selalu ada dan tersedia sepanjang waktu.

Baca Juga: Tamansari Lautan Api, Pembakaran Rumah dan Watak Kolonialisme

Peringatan FAO tentang akan adanya krisis pangan global, setelah adanya serbuan Covid-19, membuat banyak negara terpaksa harus menata ulang lagi kebijakan pembangunan pangannya, terutama di sektor perberasan. Begitu pun yang terjadi di negeri ini. Sadar atas situasi yang kita hadapi selama ini, mau tidak mau kita harus berani berpikir cerdas guna menjawab tantangan yang bakal dihadapi. Kecenderungan produksi padi yang menurun, dicirikan dengan semakin menyusutnya jumlah surplus beras, menuntut pemerintah untuk menggenjot produksi habis-habisan.

Pemerintah sendiri, jelas tidak boleh lengah menyikapinya. Apalagi seusai Menteri Pertanian meramalkan kita akan mengalami gagal panen padi hingga 1,2 juta ton. Situasi perberasan nasional betul-betul berada dalam posisi lampu kuning. Langkah menambah luas tanam sebesar 500.000 hektar yang tersebar di berbagai provinsi sentra produksi padi, tentu banyak risiko yang harus dihadapi. Begitu pun dengan percepatan masa tanam. Mewujudkan IP 300 atau IP 400 misalnya, pasti tidak semudah kita membolak-balik telapak tangan.

Menjaga hal yang tidak diinginkan, kebijakan impor beras merupakan jalan keluar yang pantas untuk dipilih. Ini penting dicatat, karena bagi kita, urusan beras akan berkaitan langsung dengan nyawa dan kehidupan warga bangsa. Kita tidak sepatutnya bermain-main dengan urusan nasi. Kita jangan merasa malu, sebagai negara yang telah berswasembada beras, tiba-tiba menerapkan lagi kebijakan impor beras. Bagi kita, yang lebih dipentingkan adalah keberlanjutan kehidupan bangsa, bukan sekedar soal gengsi.
Jujur terhadap suasana merupakan sikap terbaik yang penting kita tempuh. Selama ini, kita terkesan kurang serius dalam merencanakan pengelolaan air bagi kehidupan. Kita baru akan merasakan betapa strategisnya air, manakala bencana kekeringan menyergap, seperti yang kita alami saat ini. Sumur yang mulai mengering. Air bersih yang mulai seret. Beberapa anak sungai yang tak berair. Bahkan ada yang dijadikan tempat bermain anak-anak. Semua ini menggambarkan bencana kekeringan memang tengah kita hadapi.

Baca Juga: Tragedi Kemanusiaan Gaza di Luar Nalar

Oleh karena itu, sangatlah tepat, jika FAO mengajak segenap anggotanya untuk menjadikan air sebagai tema utama dalam memperingati Hari Pangan Sedunia 2023.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat