kievskiy.org

Memerdekakan Pilpres 2024 dengan Membenahi Persoalan Bangsa yang Gerogoti Persatuan

Ilustrasi Pilpres 2024.
Ilustrasi Pilpres 2024. /Antara

PIKIRAN RAKYAT - Tanggal 17 Agustus 2023, Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-78. Namun, sudah lamanya bangsa ini merdeka justru mengundang tanya besar. Dulu Bung Karno dalam pidatonya, “Lahirnya Pancasila” pada 1 Juni 1945 pernah menanyakan, kita ini berani merdeka atau tidak?

Kalau pertanyaan Bung Karno tersebut kita ajukan pada hari ini, maka jawaban dari setiap orang akan berbeda. Bagi mereka yang awam akan menjawab "berani" karena tolok ukurnya hanya membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. Tapi buat mereka yang pemikirannya lebih canggih akan menjawab pertanyaan dengan tidak sesederhana itu.

Mengapa? Karena kemerdekaan menuntut rakyat dan tempatnya (tanah air) bersatu. Perjuangan melawan kolonial tak akan membuahkan kemerdekaan, jika tak ada persatuan manusia dan tempatnya! Bung Karno menegaskan, “dalam soal kebangsaan, orang dan tempat tidak dapat dipisahkan.

Baca Juga: 78 Tahun Kemerdekaan RI: Merdeka dari Apa?

Namun, kini yang terjadi justru sebaliknya. Kita bisa lihat itu pada Pemilu 2019. Dalam pesta demokrasi tersebut, gesekan di antara masyarakat begitu mengakar. Masyarakat mudah sekali dipecah-belah. Hal ini terjadi lantaran isu SARA kerap disodorkan kepada publik oleh elite politik yang tidak bertanggung jawab.

Situasi tersebut menunjukkan adanya persoalan serius kebangsaan di negeri ini. Berkaca pada masalah tersebut, refleksi kemerdekaan kali ini sebaiknya difokuskan untuk membenahi persoalan kebangsaan yang terus menggerogoti persatuan agar hal itu tidak terulang kembali pada Pemilu 2024 nanti.

Noda Kebangsaan

Pada awal Juli 2019 lalu, Foreign Affairs pernah memublikasikan tulisan yang sangat bagus dari dua ilmuwan politik terkemuka, Dan Slater dan Maya Tudor, berjudul “Why Religious Tolerance Won in Indonesia but Lost in India: It Turns Out Pluralistic Nationalism Isn’t Enough”. Tulisan tersebut mengupas pemilu di dua negara demokrasi terbesar dan paling beragam: Indonesia dan India. Yang menarik dari Pemilu di kedua negara tersebut adalah toleransi beragama dijadikan isu yang sangat sentral. Namun, para pemilih (konstituen) mayoritas dari kedua negara telah memberikan penilaian yang berbeda.

Baca Juga: Konflik Kepentingan TPA Sarimukti Cerminan Interaksi Rumit antara Sosial, Ekonomi, dan Politik

Dalam tulisannya, kedua ilmuwan politik tersebut memuji pemilu di Indonesia karena berhasil keluar dari jebakan politik eksklusif, sesuatu yang gagal dilakukan dalam pemilu di India. Hal itu terjadi karena Jokowi dinilai berhasil membentuk aliansi politik dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Meski Jokowi memilih seorang ulama NU yang sangat konservatif (Ma’ruf Amin) sebagai wakilnya, dan menimbulkan keributan di kalangan pendukung Jokowi yang lebih liberal. Namun memilih Ma’ruf telah membantu Jokowi mengamankan suara pemilih di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang padat penduduknya, di mana warga Nahdliyin memiliki akarnya yang paling dalam.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat