kievskiy.org

Mengembalikan Nilai untuk Membelenggu Kemerdekaan Menuju Cita-cita Negeri

Penyelam mengibarkan bendera Merah Putih dalam gladi bersih memperingati HUT Ke-78 Kemerdekaan RI di Sea World Ancol, Jakarta, Senin (14/8/2023).
Penyelam mengibarkan bendera Merah Putih dalam gladi bersih memperingati HUT Ke-78 Kemerdekaan RI di Sea World Ancol, Jakarta, Senin (14/8/2023). /ANTARA/Sigid Kurniawan

PIKIRAN RAKYAT - Bila pejuang mengorbankan harta dan jiwa untuk melepaskan belenggu penjajah, maka penerusnya harus mampu membelenggukan diri agar kemerdekaan tidak digunakan untuk tindakan penistaan yang merugikan sesama. Bagaimanapun praktik sesat yang semakin berkembang dalam politik dan birokrasi bisa diakibatkan karena sejumlah elite tidak memiliki belenggu untuk bersikap dan bertindak.

Belenggu yang paling dekat dan kuat adalah nilai yang harus diikatkan agar tindakannya tidak ngagalaksak dan merugikan anak bangsa. Bila tidak, boleh jadi belenggunya akan longgar bahkan melepuh sehingga kebebasan bertindak akan melabrak apa pun sehingga negeri ini akan segera berada di lembah decline bahkan death seperti dikonsepsikan Isaac (1972).

Papagon

Semua tidak berharap NKRI yang dibangun atas darah dan air mata rusak. Pastilah menjadi tanggung jawab pupuhu negeri untuk merawatnya di bawah pengawalan anak bangsanya. Tatkala anak bangsa mulai abai atas tugas pengawalannya, boleh jadi dirinya telah melakukan exit akibat voice-nya diabaikan bahkan dibungkam seperti Hirschman (1970) utarakan.

Baca Juga: Pilpres 2024: Dinamika Koalisi dan Strategi Pencarian Cawapres

Mengembalikan kepada kondisi awal menjadi tidak mudah tanpa perjuangan seluruh pihak untuk membelenggu kemerdekaan dirinya agar tidak menabrak kemerdekaan yang sama dari pihak lain. Nilai yang dianggap Dananjaya (1986) sebagai rambu-rambu hidup tampaknya sering dikemas sebagai kendaraan untuk mengejar kebutuhannya. Dampaknya, papagon alias nilai lebih banyak disabdakan ketimbang pengamalannya.

Bisa jadi papagon yang lahir dari agama, budaya, dan negara sudah mulai dirarud. Keikhlasan membangun negeri pun mulai bersifat transaksional. Tidak heran jika lahirnya lembaga antirasuah dimaksudkan untuk mengembalikan seluruh pemangku kepentingan kembali ke jalan yang lurus. Hanya saja sejumlah elemen yang cerdik memanfaatkan semua yang tersedia untuk mencapai tujuannya yang sesat. Bahkan sejumlah penegak nilai agama pun sudah mulai tergiring masuk ranah yang subhat pula.

Jika praktik sesat semakin marak, maka belenggu papagon semakin melemah tanpa pengawalan yang konsisten dari anak negeri. Dampaknya, tujuan kemerdekaan yang diarahkan untuk memajukan kehidupan bangsa yang cerdas dan terlindungi, bergeser menjadi kolonialisasi baru yang diaktori oknum elitenya. Kekayaan alam pun menjadi bancakan baru untuk dikomersilkan kepada asing agar kekayaan kelompok dapat diraihnya kendati melemahkan ekonomi rakyatnya.

Baca Juga: Memerdekakan Pilpres 2024 dengan Membenahi Persoalan Bangsa yang Gerogoti Persatuan

Sejumlah anak negeri yang mulai terakseskan kepada banyak informasi, mulai berhitung atas kemancigahan atau ke-overacting-an pengelolanya. Bukan hanya dari pajak, tetapi dari migas pun pendapatan negara dianggapnya masih besar. Karena itu, tidak heran pengelola di sektor tersebut bergelimang income. Hal demikian seakan menyiratkan ikatan papagon dibangun untuk keberpihakan sehingga praktik sesat terus bertebaran dengan nyolok mata buncelik.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat