kievskiy.org

Kasus Dago Elos Bandung, Masalah Klasik Kolonialisme Agraria

Sengketa lahan di Dago Elos.
Sengketa lahan di Dago Elos. /LBH Bandung

PIKIRAN RAKYAT - 17 Agustus 1945, Indonesia mendapatkan kemerdekaannya dari kolonialisme. Pada tahun 2023 dalam rangka 78 tahun kemerdekaan Indonesia, warga Dago Elos mendapatkan praktik kolonialisme dalam wujud kesewenangan mengklaim tanah sebagai miliknya dalam penggusuran-perampasan tanah sebagai kontrol kekuatan atas wilayah atau orang yang bergantung, mirip seperti gelombang kedua ekspansi kolonial abad ke-19 yang berpusat di Afrika. Lantas, mengapa wajah kolonialisme dapat tiba-tiba muncul di negara merdeka Indonesia, di lansekap kampung Dago Elos?

Kawasan Dago, merupakan poros utama lansekap kolonial di Bandung. Hal ini jelas terlihat dari landmark arsitektural hunian serta penguasaan tanah di sepanjang jalan Dago dan sekitarnya. Dago Elos salah satu persil tanah, seperti halnya kawasan Dago Pojok, Dago Barat, Dago Timur, Dago Tihes, Dago Giri, dan Dago Bengkok yang penamaannya muncul pascakolonialisme berakhir. Namun, ternyata tidak dengan klaim kepemilikan tanahnya, Dago Elos ini buktinya.

Nama Dago Elos diambil dari kata Elos (Sunda), berawal dari penyebutan warga untuk menunjuk lokasi penempatan dan penjualan bahan bangunan, area penyimpanan ijuk, hingga area yang tertutup alang-alang. Kawasan ini mulai berkembang menjadi area campuran antara kebun (pisang-singkong) dan hunian warga sekitar tahun 80-an. Fase berikutnya, para pedagang Pasar Simpang Dago dipindahkan ke area ini pada tahun 90-an. Terjadi tumpang tindih area terminal angkot Dago dengan lapak penempatan pedagang pasar yang disebut e’los.

Baca Juga: Menipisnya Pendekatan Kultural yang Pengaruhi Kesadaran akan Makna Kemerdekaan

Bermula pada tahun 2016, 331 KK warga Dago Elos dikejutkan oleh gugatan hukum melalui Pengadilan Negeri Bandung atas tanah yang mereka tempati sejak tahun 1960an oleh Keluarga Muller dan PT Dago Inti graha di sebidang tanah waris era kolonial seluas 6.9 hektar berdasar surat eigendom verponding bernomor 3740, 3741, dan 3742 yang diterbitkan Kerajaan Belanda tahun 1934. Surat hukum tersebut seyogyanya tidak berlaku lagi setelah Indonesia merdeka 1945, yang kemudian diperkuat oleh munculnya UU Pokok Agraria No.5/ 1960 serta Kepres No.32/1979. Undang-undang tersebut mengatur tentang tenggat waktu konversi tanah bekas kolonial untuk menjadi hak milik pada tahun 1980. Ajaibnya, keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha ini baru melakukan pendaftaran tanah konversi pada 2016. Selanjutnya, saling balas gugatan terus terjadi sampai ke tingkat Mahkamah Agung dan warga memenangkannya. Namun kemudian hari, terjadi Peninjauan Kembali atas putusan MA pada tahun 2022 yang membuat warga kalah dan itu putusan final-Inkracht.

Jika Ridwan Kamil sebagai wali kota, sekarang gubernur berkehendak melindungi warganya sejak konflik tanah Dago Elos muncul tahun 2016, seyogyanya dapat menggunakan solusi program PTSL dari Kementerian ATR/BPN dituangkan dalam Peraturan Menteri No 12/2017 tentang PTSL dan Instruksi Presiden No 2/2018 melalui pemberian sertifikat sebagai bukti hukum alas hak warga atas tanah guna mencegah terjadinya konflik dan memberikan kepastian tenurial.

Program PTSL ini yang kemudian termaktub dalam RPJMN yang terintegrasi dalam RPJMD Provinsi, kab-kota sebagai upaya awal dari agenda reforma agraria yang dicanangkan Presiden Jokowi. Maka, soal warga Dago Elos seharusnya mendapatkan prioritas untuk menyelesaikan konflik. Pasalnya, warga telah menempati tanah tersebut sejak tahun 60-an, yang seharusnya menjadi prioritas utama untuk diberikan alas hak-hak mereka seperti sertifikasi sesuai mandat UU Pokok Agraria No.5/1960. Namun, hal itu tidak pernah terjadi, hingga konflik berlarut dan warga kemudian dikalahkan secara sistemik oleh sistem peradilan negara merdeka yang nyatanya mendukung praktik kolonialisme berkelanjutan.

Baca Juga: Bandung Raya Belum Merdeka dari Kepungan Sampah

Setidaknya, terdapat tiga alas hak sertifikat yang telah diberikan oleh negara Indonesia pascamerdeka sesuai UU Pokok Agraria No.5/1960 di tanah Dago Elos ini. Pertama, kepada BUMN sebagai perusahaan negara berbadan hukum melalui keberadaan Kantor Pos. Kedua, kepada instansi pemerintah daerah sebagai aset daerah melalui keberadaan Terminal Angkot Dago. Ketiga, kepada warga negara Indonesia di Dago Elos yang mengajukan sertifikat kepada negara melalui BPN. Selain itu, pada tahun 1972, terdapat tiga surat eigendom verponding yang mencatut 44 bidang tanah yang tercatat milik warga.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat