kievskiy.org

Kontroversi Caleg Eks Koruptor: Antara Norma Hukum dan Etika Kepemimpinan

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Antara/Andreas Fitri Atmoko

PIKIRAN RAKYAT - Hiruk pikuk Pilpres dan Pileg 2024 telah dimulai, dari ruwetnya tata cara mencoblos, serta sistem yang dilakukan secara serentak antara Pileg, Pilkada, dan Pilpres sampai galaunya para caleg karena takut dicoret oleh KPU. Dan kegalauan para caleg ini memuncak ketika muncul perdebatan boleh tidaknya caleg yang pernah menjadi narapidana kasus koruptor dicalonkan atau mencalonkan sebagai anggota dewan baik di daerah maupun di pusat.

Awal sengkarut atau perdebatan hukum ini sudah berlangsung sejak 2018, bermula dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPR dan DPRD kabupaten/kota dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang sampai sekarang masih terus berlangsung walaupun telah keluar Undang-undang Nomor 7 tahun 2023 dan peraturan komisi pemilihan umum nomor 10 tahun 2023 mengatur hal yang sama. Kedua peraturan ini diuji materil ke Mahkamah Agung oleh 13 orang bekas narapidana kasus korupsi.

Uji materil secara khusus ditujukkan terhadap pasal 4 ayat 3 peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018. Pasal ini melarang bekas narapidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba maju sebagai calon anggota legislatif.

Hasilnya menyatakan larangan bekas narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu.

Baca Juga: Biaya Berkedok Sumbangan Pendidikan: Pungli atau Kebutuhan?

Perdebatan secara yuridis sampai dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) selesai. Namun, terhadap putusan MA ini dapat diberikan sejumlah catatan, Pertama, MA betul-betul memandang hukum itu sama dengan undang-undang, artinya sumber satu-satunya hukum adalah undang-undang. Dan pandangan ini sering dikatakan sebagai pandangan positivisme hukum.

Pandangan demikian memperlihatkan bahwa aspek-aspek non yuridis harus disingkirkan dalam kehidupan berhukum. Putusan pengadilan tidak boleh mempertimbangkan aspek-aspek non yuridis dalam mengambil suatu keputusan. Pandangan ini mengambil paradigma berhukum abad pertengahan.

Mahasiswa fakultas hukum dalam semester pertama sudah diajarkan bahwa norma hukum itu harus berkiblat kepada asas hukum dan berhulu kepada apa yang disebut etis. Misalnya, dalam berbisnis secara etis orang harus jujur, perilaku jujur ini kemudian dinarasikan dalam bentuk asas hukum yaitu perjanjian itu harus ditaati oleh kedua belah pihak. Untuk implementasi dari asas hukum bahwa perjanjian itu harus ditaati, maka dikonkritkanlah dalam bentuk norma hukum atau kaidah hukum, yakni berupa pasal perjanjian dalam hukum perdata dan pasal penipuan (kalau isinya tidak jujur) dalam hukum pidana.

Dengan demikian sebenarnya kedudukan “etis” adalah lebih tinggi ketimbang norma. Sikap etis ini hanya dapat dilihat secara common sense, integritas dan mungkin rasa malu dari seseorang. Secara normatif dan sesuai kaidah hukum caleg eks napi koruptor ini memang benar masih diperbolehkan menjadi caleg. Pasalnya, tidak ada norma hukum yang dilanggar dan hak-hak politiknya sebagai warga negara juga tidak dicabut. Dengan demikian, mereka itu clear dari perkara hukum.

Baca Juga: Pemilu 2024: Bakal Banyak Pihak yang Bermain di Air Keruh, Indonesia Harus Dipimpin Jawara

Integritas

Pengisian jabatan publik bukanlah urusan norma hukum semata, tetapi di dalamnya terkandung berbagai hal yang berhubungan dengan kepatutan, integritas, dan pendidikan bagi masyarakat. Pengisian jabatan publik semestinya bersih dari anasir-anasir yang mengurangi kewibawaan dari jabatan tersebut. Pengisian jabatan publik dan pejabatnya haruslah benar-benar sebagai sesuatu yang putih bersih karena akan mengemban tugas yang berhubungan dengan masyarakat.

Hukum dibuat dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat. Hukum tidak melulu berisi rangkaian kata-kata yang tertuang dalam pasal-pasal, tetapi juga harus melihat makna yang terkandung di dalamnya. Raison d’tre inilah yang harus dihayati, dimaknai oleh pelaksana hukum dan masyarakat. Hukum tidak pernah lepas dari akar masyarakat karena hukum selalu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Menyelami perasaan hukum masyarakat adalah juga kewajiban aparat pelaksana hukum. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Demikian bunyi pasal 5 Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menegaskan. Oleh karena itu, memahami perasaan masyarakat tentang perdebatan caleg koruptor dapat dilihat, dibaca, dan didengar dari berbagai sumber dan itu sangat mudah dilakukan dan dicerna.

Seorang calon pejabat publik harus juga memahami hukum dan mempunyai integritas tinggi yang berupa sikap tentang etis tidaknya suatu perbuatan yang akan dilakukan. Perasaan hukum yang berasal dari sifat otonom manusia tidak mungkin dapat dibohongi.

Oleh karena itu, persoalan caleg eks narapidana koruptor bukanlah hanya perasaan hukum yang harus dihayati, tetapi juga sejauh mana caleg tersebut memahami keluhuran jabatan yang akan diembannya dan sekaligus tanggung jawab etis yang harus diperlihatkan kepada masyarakat.

Baca Juga: Bandung Akan Dikelilingi Gunungan Sampah dan Bau Busuk, Masyarakat Harus Dipaksa Peduli

Keadilan

Summum ius summa iniuria, demikian maxim hukum yang masih berlaku. Artinya, keadilan tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi. Bagi masyarakat yang anti korupsi putusan Mahkamah Agung tersebut secara normatif adalah adil karena sudah memutus berdasarkan hukum, tetapi sekaligus menimbulkan ketidakadilan apabila melihat dari aspek etik hukum yang ada di balik putusan Mahkamah Agung tersebut karena adanya pertentangan norma hukum dengan etik hukum sebagai intisari dari hukum itu sendiri.

Persoalan berlakunya etik hukum haruslah menjadi dasar pijakan bagi pelaksana undang-undang dan pembuat undang-undang.

Etik hukum harus menjadi landasan utama dalam kehidupan berhukum sehingga tidak akan terjadi lagi seorang pejabat publik masih tidak merasa bersalah apabila baru melanggar etik, padahal etik adalah hakikat daripada hukum.(Edi Setiadi/Rektor Unisba)

Disclaimer: Kolom adalah komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Tulisan ini bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat