kievskiy.org

Buku Paman Tom

/Dok. Hawe Setiawan

 

PIKIRAN RAKYAT - Akhirnya, saya tinggal bilang, “Alhamdulillah”. Beban terangkat sudah, serasa saya baru lulus ujian. Buat merayakannya, di ruang Perpustakaan Ajip Rosidi, di Bandung, sore itu sahabat saya memesankan kopi susu dingin lewat kurir daring.

Barangkali, inilah hikmah tersendiri dari pandemi yang berlarut-larut. Seperti banyak orang lainnya, saya harus mengurung diri dalam lima bulan terakhir. Waktu membersihkan rak buku, saya tersadar akan sebuah utang janji yang lama tertunda: belajar membaca dan menerjemahkan teks Belanda, sejauh bisa.

Sambil berucap “lahaola”, saya hadapi lagi teks pilihan saya, yakni disertasi Tom van den Berge, Van Kennis tot Kunst: Soendaneze Poëzie in de Koloniale Tijd, “Dari Pengetahuan ke Seni: Puisi Sunda dalam Zaman Kolonial” (1993).

Baca Juga: Dilaporkan ke Polda Metro Jaya, Direktur Utama PT TransJakarta Klarifikasi, 'Bukan Begitu Ceritanya'

Buat saya, hasil studi Tom yang satu ini memperlihatkan kedudukan puisi dalam sejarah sastra Sunda, terutama dalam kaitan dengan semangat zamannya dan beragam kepentingan yang mempengaruhinya.

Puisi, lebih tepatnya puisi terikat, pernah begitu disukai oleh orang Sunda, tak terkecuali oleh kalangan terpelajarnya. Sebelum puisi meduduki tempat seni (kunst) yang tersendiri, bentuk karangan ini pernah dijadikan medium pengetahuan (kennis). Dari petuah moral hingga pelajaran kepribadian, dari berita hingga cita-cita, pernah dituangkan ke dalam wadah puisi.

Buku ini saya dapatkan pada 2013 berkat kebaikan Moriyama-sensei alias Kang Miki dari Universitas Nanzan yang sering “pulang-anting” antara Jepang dan Belanda. Waktu ketemu Tom, sahabatnya, dia menyampaikan niat saya ketika itu. Di halaman kolofon, dengan tulisan tangan, Tom membesarkan hati saya: “Ik zou zeggen: ‘Vertaal dit boek. Graag!’,” katanya.

Baca Juga: Kejagung: Andi Irfan Jaya Jadi Tersangka Kasus Dugaan Gratifikasi Jaksa Pinangki dan Djoko Tjandra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat